Saumlaki, Kapatanews.com – Laut Seira, Kecamatan Wermaktian salah satu gugusan perairan kaya di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, kembali menjadi medan perampokan. Ironisnya, para pelaku bukan hanya nelayan andon dari luar daerah, melainkan mafia besar yang terus beroperasi dengan nyaman di bawah lindungan aparat.
Keputusan tegas Bupati Kepulauan Tanimbar, Ricky Jauwerissa, yang menolak kehadiran nelayan andon dari luar daerah dalam pengelolaan kekayaan laut, tampaknya hanya tinggal di atas kertas.
Di lapangan, pengusaha kaliber bernama Roby anak dari Haji Amin (Lamausu) dan Arshady, seorang pemodal kuat dari Sulawesi, dengan leluasa mendanai puluhan kapal nelayan andon dan mengeksploitasi telur ikan terbang dalam jumlah besar.
Hasil rampasan mereka dilaporkan telah melampaui 10 ton angka yang mengerikan jika kita memahami dampaknya terhadap ekosistem dan keberlanjutan laut.
Kedua nama tersebut kini identik dengan kehancuran laut Tanimbar. Mereka bukan hanya mengabaikan hukum, tetapi juga secara terang-terangan menghina kewibawaan pemerintah daerah.
Mereka menjadikan laut Tanimbar sebagai ladang emas pribadi, mengabaikan izin, melewati batas WPPNRI 715, dan mempermainkan regulasi lintas provinsi seolah negara ini tidak memiliki sistem pengawasan.
Yang lebih menyakitkan: praktik ilegal ini diduga kuat mendapat dukungan dari oknum aparat penegak hukum. Keberanian para mafia laut ini tentu tak lepas dari jaminan perlindungan yang mereka nikmati.
Di hadapan masyarakat Seira yang menggantungkan hidup pada laut, ini adalah bentuk nyata dari penjajahan modern di negeri sendiri, oleh sesama anak bangsa, dengan dukungan dari institusi yang seharusnya melindungi mereka.
Pemerintah Desa 51 Seira sudah berulang kali mencoba mencegah konflik yang timbul dari operasi liar ini. Namun setiap upaya kandas, karena kekuatan uang dan kedekatan dengan aparat lebih menentukan dari keadilan dan aturan hukum.
Ketegangan sosial di Seira kembali meningkat. Potensi konflik horizontal tak lagi bisa dianggap remeh. Jika dibiarkan, ini bisa berubah menjadi ledakan sosial yang memakan korban jiwa dan memperkeruh stabilitas daerah.
Bupati telah bersuara. Kini saatnya tindakan nyata berbicara. Dinas Perikanan, PSDKP, Polairud, dan TNI AL wajib turun tangan dalam operasi terpadu, menindak tegas semua kapal yang tidak memiliki izin, serta menyeret pengusaha-pengusaha pelindung aktivitas ilegal ini ke jalur hukum. Tak cukup hanya bicara tentang larangan hukum harus ditegakkan, tanpa pandang bulu.
Penjarahan laut Tanimbar bukan hanya kejahatan ekologis, tetapi juga ancaman terhadap kedaulatan negara. Jika negara terus diam, maka rakyat Seira punya alasan untuk percaya bahwa hukum hanya berlaku bagi yang lemah.
Tanimbar bukan milik mafia laut. Ia adalah warisan leluhur yang harus dijaga untuk anak cucu. Jangan tunggu darah tumpah di laut sebelum negara benar-benar bangun dari tidur panjangnya. (KN-07)