Tanimbar, Kapatanews.com – Malam di Maluku pada 4 Desember 2025 turun dengan perlahan, seperti kain gelap yang merayap menutupi segala sesuatu yang bergerak dengan tergesa. Tidak ada angin, tidak ada suara yang benar-benar hidup; hanya keheningan yang menggantung hingga terasa menusuk dada. Di ruang Panja Reformasi Komisi III DPR RI, seorang perempuan duduk dengan jemari saling mengunci, berusaha menahan gemuruh batin yang telah ia pendam lama.

Nama perempuan itu Joice Pentury, dan hari itu ia membawa sesuatu yang jauh lebih berat daripada tumpukan dokumen atau berkas perkara. Ia membawa kisah suaminya Petrus Fatlolon dan seluruh beban hidup yang tak pernah benar-benar mereka pilih. Ketika ia menarik nafas untuk berbicara, ruangan itu seperti berhenti berputar. Ada rasa takut, ada rasa lega, ada rasa pasrah yang bercampur menjadi satu dalam suaranya yang lirih.

Kesaksiannya membawa seluruh ruangan kembali ke malam 23 November 2023, pukul 20.51 WIB, di Hotel Golden Butik, Blok M, Jakarta. Dalam pertemuan yang tampak biasa itu, Petrus Fatlolon bertemu Muji Martopo, Asintel Kejati Maluku. Tidak ada ketegangan di permukaan; namun ada sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak benar, sesuatu yang lalu menjatuhkan satu kalimat yang mengubah hidup mereka: permintaan Rp10 miliar dari Dadi Wahyudi, Kajari Kepulauan Tanimbar saat itu, agar “aman” mencalonkan diri kembali.
Permintaan itu tidak berteriak. Ia bahkan tidak diucapkan dengan nada mengancam. Tetapi dampaknya lebih keras daripada pintu yang dibanting. Petrus Fatlolon pulang dengan langkah pelan, dan Joice Pentury masih ingat bagaimana ia membuka pintu rumah dengan raut yang tidak lagi sama. Seperti seseorang yang baru saja melihat dirinya dipisahkan dari masa depannya sendiri. Seperti seseorang yang kehilangan arah di tengah hutan gelap yang sunyi.
Beberapa hari kemudian, ketika matahari turun di halaman RS Pertamina Bulungan, telepon Petrus Fatlolon berdering. Suara Dadi Wahyudi terdengar di ujung sana, tenang namun dingin. “Bapa bisa berapa?” tanyaannya. Tidak panjang, tidak rumit, tetapi cukup membuat udara di sekeliling membeku. Petrus Fatlolon hanya mampu menjawab, pelan dan jujur, “Dua ratus juta… itu saja yang saya bisa.”
Namun kejujuran itu tidak menyelamatkan apa pun. “Terlalu kecil. Saya tanya anak buah,” jawab Dani. Setelah itu, percakapan berakhir, tetapi perasaan terhina itu tidak pergi dari tubuh Petrus Fatlolon. Ada rasa kehilangan harga diri yang tidak bisa ia ungkapkan. Ada rasa bahwa ia sedang berdiri di hadapan sesuatu yang tidak mampu ia lawan, meski ia pernah memimpin sebuah daerah dan dihormati masyarakatnya.
Namun malam paling gelap tidak terjadi di Jakarta. Malam itu berada jauh di Ambon 22 November 2023, pukul 23.40 WIT ketika Petrus Fatlolon diarahkan ke kamar 605 di Hotel Kamari. Ia mengikuti perintah, mungkin berharap masalah itu bisa diselesaikan. Tetapi pintu terbuka, dan masuklah Riki Santoso, staf Dadi Tanpa surat perintah. Tanpa rasa hormat. Tanpa alasan yang layak disebut hukum dalam memperlakukan manusia.
Riki melakukan penggeledahan paksa, memperlakukan ruangan dan tubuh seseorang yang pernah memimpin dengan cara yang merendahkan. Petrus Fatlolon tidak berteriak. Ia tidak melawan. Namun ia berdiri dengan bahu yang menurun sedikit demi sedikit, seperti pohon tua yang diterpa angin dari arah yang sama terlalu lama. Joice Pentury menggambarkan momen itu dengan lirih:
“Cahaya di mata suami saya meredup seperti lilin yang ditiup dari jauh.”
Dan tidak ada yang sanggup menyanggahnya, sebab semua orang mengerti kalimat itu lebih dari sekadar metafora. Malam itu, bukan hanya hukum yang melukai Petrus Fatlolon, melainkan martabatnya. Sesuatu di dalam dirinya menjadi sunyi. Sunyi yang tidak akan hilang sampai kapan pun. Sunyi yang masih hidup di wajahnya setiap pagi setelah itu, menjadi bagian dari dirinya yang tidak pernah pulih sepenuhnya.
Hari-hari berikutnya berubah menjadi beban panjang yang tidak terlihat, tetapi terasa oleh siapa pun yang mengamati lebih dekat. Petrus Fatlolon bangun dengan mata yang seperti baru saja bertarung melawan mimpi buruk. Ia duduk lama di meja makan dan tidak menyentuh makanan. Kadang ia menatap jendela seperti seseorang yang sedang mencari alasan untuk tetap percaya bahwa hari ini tidak akan lebih buruk daripada kemarin.
Dengan suara yang hampir putus, Joice Pentury berkata kepada Komisi III:
“Akibat pemerasan dan politisasi itu, suami saya tidak bisa ikut Pilkada 2024. Padahal beberapa partai sudah memberikan rekomendasi.”
Kalimat itu tidak panjang, tetapi terasa seperti pintu yang ditutup di depan seseorang yang hanya ingin melangkah sekali lagi menuju masa depannya yang telah ia perjuangkan sejak lama.
Sementara itu, para komisaris dan direksi BUMD PT Tanimbar Energi dipanggil untuk diperiksa. Menurut Joice Pentury, mereka ditekan agar mengaku ada aliran dana kepada Petrus Fatlolon. Namun kenyataan tetap kokoh seperti batu karang: tidak satu pun saksi mampu membuktikan hal tersebut. Fakta itu berdiri tegak, tetapi entah mengapa, perkara terus berjalan seolah tidak melihat batu besar itu sama sekali.
Pada 14 April 2025, Dirut dan Direktur Keuangan BUMD ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian, pada 20 November 2025, ketika Petrus Fatlolon datang memenuhi panggilan, ia tidak langsung diperiksa. Ia dibiarkan menunggu berjam-jam, hanya untuk akhirnya ditetapkan kembali sebagai tersangka tanpa pendampingan pengacara. Sebuah perlakuan yang jelas melanggar due process of law, tetapi malam itu tidak ada yang berdiri di sisinya.
Di tengah proses yang janggal ini, Petrus Fatlolon tidak pernah menerima SPDP, tidak menerima surat perintah penyidikan, dan tidak memperoleh dokumen pencairan BUMD PT Tanimbar Energi yang menjadi dasar tuduhan. Lebih jauh, Audit BPK tahun 2022 menyatakan tidak ada kerugian negara dalam penyertaan modal BUMD tersebut. Dan PT Tanimbar Energi berdiri sejak 2013, jauh sebelum Petrus Fatlolon menjabat sebagai Bupati Kepulauan Tanimbar.
Menjelang akhir kesaksiannya, Joice Pentury berkata:
“Suami saya tidak menerima satu rupiah pun. Kami hanya ingin keadilan yang jujur, bersih, manusiawi.”
Ruangan itu menunduk. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang mengetuk meja. Karena semua orang tahu, ia tidak sedang berbicara sebagai saksi; ia sedang berbicara sebagai manusia yang kehilangan terlalu banyak dalam waktu terlalu singkat oleh proses yang tidak seharusnya menyakiti.
Ketua Komisi III kemudian menegaskan bahwa persoalan ini telah menyentuh dasar etika penegakan hukum. Panja Reformasi memutuskan memanggil Kepala Kejati Maluku, mantan Kajari Kepulauan Tanimbar Dady Wahyudi, mantan Asisten Pidsus Triono Rahyudi, pelapor Bon Goldman, dan Petrus Fatlolon sendiri. Tugas mereka: membuka semua fakta, menyingkirkan kabut yang menutupi proses hukum ini agar tidak ada lagi yang berjalan dalam gelap.
Tetapi publik hanya melihat panggilan rapat. Tidak ada yang melihat malam-malam ketika Petrus Fatlolon duduk sendirian, memegangi wajahnya dalam gelap, berusaha menyatukan kembali bagian-bagian dirinya yang tercerai. Tidak ada yang melihat bagaimana Joice Pentury diam-diam menangis di dapur setiap kali suaminya mencoba tersenyum. Tidak ada yang mendengar doa mereka yang lembut:
“Tuhan… jangan biarkan kami jatuh lebih jauh.”
Dan doa itulah yang mungkin menjaga mereka sampai sekarang doa kecil yang bertahan di tengah badai. Sebab hidup tidak selalu memberi jawaban, tetapi selalu memberi kesempatan untuk bertahan satu hari lagi. Satu nafas lagi. Satu harapan kecil lagi, betapapun samar.
Kisah ini belum selesai. Namun seperti lilin kecil yang menolak padam di ruang yang dinginnya tak masuk akal, keluarga ini tetap menjaga cahaya mereka. Cahaya itu redup, tetapi hidup. Dan selama ia hidup, ada harapan bahwa suatu hari nanti, langit yang gelap ini akhirnya akan kembali menjadi biru meski mungkin tidak hari ini, atau besok, tetapi pada waktu yang telah ditetapkan Tuhan. (KN-07)








