Oleh : Al Mahulette, Praktisi Perencanaan Wilayah dan Kota
Ambon, Kapatanews.com – Perubahan iklim global saat ini bukan sekadar peringatan data menunjukkan dampak nyata bagi provinsi kepulauan seperti Maluku. Saat dunia memusatkan perhatian pada COP30 di Belém, Brazil, tema besar “Climate Leadership and Cooperation” memberi momentum bagi Maluku untuk mendesain ulang pembangunan lokal dengan keberlanjutan iklim sebagai inti.
Data tak bisa diabaikan. Kajian pesisir di Teluk Ambon, misalnya, menunjukkan laju kenaikan muka air laut sekitar 4 mm per tahun, dan diprediksi pada 2050 ada genangan rob setinggi ± 1,40 meter di beberapa titik pesisir rendah.
Sementara itu, laporan Kompas menyebut bahwa dalam periode 2018 sampai dengan 2023, Maluku kehilangan 25 hektar lahan pesisir akibat abrasi, alih fungsi, dan degradasi bakau. Selain itu, perubahan iklim memperburuk pola cuaca ekstrem BMKG mencatat naiknya muka laut nasional hingga 0,8–1,2 cm per tahun sebagai salah satu dampak pemanasan global.
Dampak itu sangat strategis bagi Maluku. Sebagai provinsi dengan lebih dari 90 persen wilayah laut, banyak masyarakat bergantung pada pesisir untuk perikanan, mata pencaharian, dan pemukiman. Terumbu karang pun makin rentan; penelitian lokal menyebut pemutihan karang meningkat karena suhu laut yang terus naik, dan ini sangat mengancam ekosistem perikanan tradisional.
Tak hanya itu, komunitas pesisir juga menghadapi risiko kekeringan karena fenomena El Niño. Catatan seminar risiko bencana menyebut bahwa saat El Niño tahun 2016, Ambon bahkan mengalami kekurangan air bersih.
Di panggung COP30, Brazil menegaskan bahwa negara-negara dengan kekayaan alam tropis harus bekerja sama dalam perlindungan ekosistem dan transisi hijau. Maluku dapat mengambil peran serupa: bukan hanya sebagai korban dampak iklim, tetapi juga sebagai aktor strategis dalam kepemimpinan iklim.
Maka dari itu, saya sarankan tiga langkah konkret yang bisa diambil Pemerintah Provinsi Maluku:
A . Perbarui Rencana Tata Ruang Berbasis Risiko Iklim
1. Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota perlu mengevaluasi RTRW dan RDTR dengan memasukkan peta risiko kenaikan muka laut dan genangan rob.
2. Zona pemukiman tradisional pesisir yang sangat rawan harus diprioritaskan untuk relokasi atau penguatan proteksi dengan solusi alami seperti bakau.
B. Bangun Infrastruktur Adaptif Kepulauan
1. Dermaga dan pelabuhan rakyat harus dirancang ulang agar tahan terhadap gelombang tinggi dan pasang ekstrem.
2. Siapkan jalur evakuasi pesisir, tempat pengungsian darurat, dan sistem peringatan dini banjir rob.
3. Gunakan konstruksi alam (nature-based solutions): misalnya rehabilitasi hutan bakau yang hilang — pendataan menunjukkan banyak jenis bakau di Maluku telah berkurang, padahal fungsinya vital untuk menahan abrasi.
C. Akselerasi Energi Bersih & Ekonomi Biru
1. Kembangkan pembangkit energi terbarukan di pulau-pulau kecil: solar off-grid, angin pesisir, dan biomassa lokal sangat potensial.
2. Dukung ekonomi biru: investasi dalam budi daya laut berkelanjutan, perikanan berbasis adaptasi iklim, dan pariwisata bahari konservatif.
3. Libatkan komunitas lokal dalam konservasi terumbu karang dan restorasi bakau, sambil menciptakan lapangan kerja baru.
Mengapa langkah-langkah ini penting sekarang? Karena COP30 memberi konteks global Maluku bisa menempatkan dirinya sebagai contoh provinsi kepulauan yang tidak hanya mengalami dampak, tetapi juga memimpin transisi iklim dengan cara lokal dan kontekstual.
Tantangan iklim adalah nyata dan mendesak. Namun, dengan data lokal yang jelas dan strategi adaptasi berbasis sains, Pemda Maluku dapat mengambil langkah berani: menjadikan kerentanan sebagai kekuatan, dan Maluku sebagai provinsi kepulauan yang mampu bersinergi dengan semangat kepemimpinan iklim global (*)








