Oleh : Hobarth Williams Soselisa – Oyang Orlando Petrusz
AMBON, Kapatanews.com – Dalam dinamika kepemimpinan publik, khususnya dalam ruang komunikasi yang sensitif seperti hubungan antarumat beragama, peran pemimpin tidak hanya terbatas pada keberanian membuka ruang dialog, melainkan juga mensyaratkan ketajaman kepekaan sosial dan pemahaman multidimensional tentang konteks keberagaman.
Pendekatan komunikasi yang terbuka dan empatik menjadi fondasi esensial demi memastikan bahwa setiap pesan yang diartikulasikan mampu merajut kebersamaan dan menumbuhkan rasa saling percaya, bukan justru menghadirkan segregasi atau potensi konflik.
Sebagaimana dicontohkan oleh Abdullah Vanath sebagai Wakil Gubernur Maluku dengan upaya keberaniannya membuka ruang dialog serta menghadirkan klarifikasi secara langsung, hal ini menegaskan pentingnya transparansi sebagai instrumen utama dalam membangun legitimasi sosial serta memperjelas berbagai persepsi publik yang beragam.
Namun, keberanian tersebut hendaknya selalu dipertegas dengan analisis kritis dan sensitivitas terhadap implikasi sosial yang muncul, mengingat setiap ungkapan atau tindakan dapat beresonansi berbeda di tengah masyarakat yang kaya akan heterogenitas budaya dan nilai-nilai.
Pendekatan komunikasi yang komunikatif memerlukan keseimbangan yang halus antara ketegasan dan kelembutan, di mana dialog efektif berperan lebih dari sekadar pertukaran definisi atau pendapat, melainkan sebagai wahana kolaboratif mencari makna bersama.
Perspektif teori dialog Habermas menempatkan interaksi sebagai ruang yang ideal bila lembaga komunikasi berjalan tanpa dominasi kekuasaan, memberikan ruang partisipasi setara, dan merefleksikan norma-norma rasionalitas komunikatif.
Konsep ini sangat relevan di Maluku, di mana pluralitas kultural dan agama sering kali menghadirkan tantangan bagi terciptanya integrasi sosial.
Kepemimpinan yang memadukan ketegasan beradab dengan empati inklusif dapat menjadi teladan bagaimana komunikasi mampu menjadi medium penjernihan ketegangan dan pembinaan rekonsiliasi sosial. Lebih dari sekadar meneguhkan kebenaran sepihak, pemimpin yang mengedepankan komunikasi terbuka dan empati dapat merangkul kompleksitas kelompok yang beragam serta menginsafi kebutuhan moral untuk merawat kelembutan hati dan sikap inklusif.
Dengan menyinergikan keadilan dan kasih sayang, ruang dialog bukan hanya menjadi arena klarifikasi tetapi juga jembatan penguatan solidaritas di tengah perbedaan.
Dalam kerangka visi Maluku Par Maluku Pung Bae, komunikasi publik harus dimaknai sebagai instrumen strategis dalam memupuk harmonisasi sosial dan memperkokoh benang merah persatuan.
Kepemimpinan yang efisien dan bermartabat akan menghayati setiap kata dan sikap dengan landasan etika yang mulia, kesadaran pluralistik, dan komitmen terhadap keterbukaan beradab. Kesadaran ini menjadikan komunikasi sebagai wahana transformatif yang tidak sekadar menjadi arena konfrontasi, melainkan sebagai pilar utama dalam pengelolaan ketertiban sosial serta pembangunan masa depan inklusif demi kesejahteraan kolektif masyarakat Maluku.(KN-02)







