Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Opini

Menakar Seratus Hari: Politik Akar, Bukan Politik Gincu.

×

Menakar Seratus Hari: Politik Akar, Bukan Politik Gincu.

Sebarkan artikel ini

Ambon,Kapatanews.com._ Artikel saya kali ini hendak mengulas 100 hari pertama pemerintahan Hendrik Lewerissa – Abdullah Vanath, yang telah bertugas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, dimana dalam pekan ini masa tugas mereka akan memasuki bulan keempat.

Perkenankan saya untuk merujuk pada sejarah pemerintahan Amerika Serikat, meskipun saya menyadari bahwa perbandingan ini tidak selalu tepat mengingat Maluku dalam hal ini hanyalah sebuah daerah dari negara Republik Indonesia yang begitu luas.

Scroll Keatas
Example 300x450
Scroll Kebawah

Tetapi setidaknya kita punya norma dan sumber untuk memulai kajian ini. Majalah Tempo dalam edisi 3-9 Februari 2025 menurunkan sebuah artikel menarik yang mengulas tentang topik yang sedang kita bahas ini.

Terry Sullivan, pakar politik University of North Carolina, Amerika Serikat, menyebutkan setiap presiden selalu berdiri di atas “es tipis” pada seratus hari pertamanya. Periode itu digunakan berbagai pihak untuk menilai kompetensi Presiden.

Pelaku ekonomi akan membaca pasar. Pencari keadilan menimbang proses penegakan hukum. Politikus mewaspadai kawan dan lawan. Rakyatpun memimpikan harapan. Sebelum Franklin Delano Roosevelt menjadi Presiden Amerika Serikat,kompetensi presiden tidak pernah diukur dengan melihat 100 hari pertamanya.

Penilaian semacam itu tidak pernah ada dalam konstitusi dan peraturan apapun. Roosevelt menggunakan terminologi “first 100 days” untuk membangun harapan di tengah resesi ekonomi yang parah.

Permasalahan terbesar yang dihadapi kala itu adalah angka pengangguran yang mencapai 25 persen dan tidak stabilnya perbankan. Beberapa puluh tahun kemudian, Presiden Barack Obama
menghadapi isu yang mirip: kendala ekonomi, tenaga kerja, dan kesehatan. Keduanya menempuh dua solusi yang cukup mirip: mengeluarkan paket peraturan yang berpihak kepada
publik dan pelaku usaha serta membangun optimisme rakyat melalui pidato yang hebat.

Dalam konteks yang kurang lebih sama, Maluku menghadapi situasi ekonomi yang rumit dan komplikatif. Selain menghadapi keterbatasan fiskal yang akut, Maluku juga tidak
diperlakukan secara proporsional oleh pemerintah pusat dalam formulasi perhitungan dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Formasi perhitungan ketiga elemen pembentuk dana transfer tersebut
terlalu “continental oriented” dan mengabaikan fakta bahwa Maluku adalah daerah berciri kepulauan dengan hambatan geografis yang rumit dan tantangan konektifitas yang kompleks.

Perlakuan ini telah berlangsung puluhan tahun sejak Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan. Dampak kronis daripada perlakuan semacam ini adalah
ketergantungan fiskal Maluku pada APBN sangat tinggi dan ini berakibat pada rentannya APBD Maluku dimana terjadi sedikit saja distorsi terhadap perekonomian nasional maka hal tersebut akan dengan cepat merembes pada perekonomian provinsi seribu pulau ini.

Inilah yang terjadi ketika pemerintah pusat mengadopsi kebijakan efisiensi yang ditandai dengan adanya penghematan secara ketat terhadap belanja pemerintah pusat.

Karena itu pula APBD Maluku yang telah terbebani oleh warisan tata kelola keuangan
yang tidak sehat oleh pemerintahan daerah sebelumnya, semisal kebijakan sembrono hutang pada PT. SMI, menjadi makin tertekan.

Dalam situasi ini, target pertumbuhan ekonomi daera harus kembali dirasionlisasi, demikian halnya dengan program pengentasan kemiskinan dan
penyediaan lapangan pekerjaan yang berkualitas dan berkelanjutan.

Karena itu, capaian kuartal pertama perekonomian Maluku 2025 ini sebenarnya sudah baik. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang mampu mencapai level 5,07 persen melampaui rata-rata nasional yang ada di tingkat 4,87 persen. Inflasi (mtm) April terkendali di level 0,09 persen.

Inipun masih di bawah inflasi rata-rata nasional (mtm) yang sebesar 1,17 persen. Kemiskinan masih di tingkat 15,78 persen, tetapi level ini terus menunjukkan tren yang menurun meskipun tantangan untuk mengurangi tingkat kemiskinan sangat kompleks.

Demikian halnya dengan angka pengangguran (TPT) yang masih ada di tingkat 5,95 persen (Februari 2025) atau sedikit turun dari bulan yang sama tahun 2024 yakni sebesar 5,96 persen.

Secara rata-rata, indikator makro ekonomi daerah terus menunjukkan perbaikan. Hal ini berlangsung seiring penataan hubungan antara figuritas kepemimpinan daerah dengan publik Maluku yang lebih mengutamakan pendekatan persuasif dan komunikasi yang humanis.

Penyelesaian konflik horisontal antar kelompok masyarakat baru-baru ini di Seram Utara, Pulau Haruku dan Salahutu, yang menandai awal pemerintahan Lewerissa-Vanath, secara efektif mengabaikan retorika keamanan sekaligus menerapkan pola komunikasi humanis yang nampaknya lebih mendapat simpati serta mengelolah konflik sehingga tidak berdampak lebih luas, massif dan destruktif.

Di bidang ekonomi, kebijakan Lewerissa-Vanath dalam menyelamatkan Bank Maluku
Maluku Utara agar terhindar dari status Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan mendorong pembentukan skema KUB (Kelompk Usaha Bersama) dengan Bank DKI adalah sebuah terobosan.

Kebijakan ini memungkinkan Bank Maluku-Maluku Utara untuk memenuhi modal
inti yang diwajibkan POJK Nomor 12 Tahun 2020 sebesar Rp. 3 triliun. Fakta ini sekaligus menjadikan Bank Maluku-Maluku Utara sebagai kekuatan perekonomian daerah serta penopang kelompok usaha koperasi dan UMKM.

Selain itu, guna mengatasi ketimpangan defisit ekspor-impor daerah dimana selama ini Maluku masih defisit perdagangan luar negeri sebesar US$ 74,99 juta, maka pemerintah daerah telah membentuk Tim Percepatan Ekspor Maluku. Tim ini terdiri dari unsur pemerintah daerah, dunia usaha, instansi vertikal yang terkait dengan
kepabeanan, pelabuhan, bandar udara, hingga laboratorium uji mutu dan sertifikasi.

Tim sedang bekerja untuk meningkatkan ekspor Maluku dalam jangka pendek. Ini sekaligus sebagai salah satu solusi guna memperkuat kapasitas fiskal daerah yang selama ini memang terlalu bergantung
pada APBN. Kebijakan ekonomi lainnya adalah penghapusan tunggakan pajak kendaraan bermotor hingga 2024.

Ini adalah langkah tepat dan kontekstual. Dalam filsafat ekonomi publik, kebijakan fiskal harus bersifat counter-cyclical, merespons kondisi ekonomi masyarakat yang sedang lesu dengan stimulus, bukan tekanan. Dengan kebijakan ini, Lewerissa-Vanath tidak hanya menambah Pendapatan Asli Daerah dalam jangka menengah, tetapi membangun kembali relasi fiskal yang sehat antara negara dan warga.

Ini adalah indikator bahwa bahkan di provinsi termiskin pun, ekonomi bisa dikelola dengan nalar. Artinya, Lewerissa – Vanath bekerja melalui pintu belakang, memaksimalkan semua potensi daerah yang dimiliki.

Kebijakan berikutnya yang ditempuh Lewerissa-Vanath adalah kampanye penetapan dan pemberlakuan Maluku sebagai provinsi kepulauan. Ini adalah konsistensi sikap dan pemikiran
yang ditunjukkan, terutama Hendrik Lewerissa, sejak menjadi legislator hingga kepala daerah.

Ini sekaligus menjadi strategi lain dalam memecahkan problematika derajat kemandirian fiskal daerah yang lemah.

Sebab dengan diakomodirnya Maluku sebagai provinsi kepulauan maka akan
ada konsekwensi pembiayaan yang signifikan dengan bertambahnya pendapatan daerah dari sektor kelautan dan perikanan yang selama ini menjadi titik lemah daerah dalam menambah kas
pendapatan daerah.

Padahal agenda provinsi kepulauan ini dalam kepemimpinan lima tahun sebelumnya menjadi isu yang sepi dan tak tersentuh.

Mungkin agak berlebihan, tetapi secara sekilas nampak kemiripan antara gaya kepemimpinan dan prioritas antara Franklin Delano Roosevelt, Barack Obama dam Hendrik Lewerissa.

Dalam kapasitas yang berbeda, mereka memimpin dalam keadaan kondisi perekonomian yang mengalami turbulensi, tetapi prioritas mereka nampak sejalan yakni mengeluarkan paket kebijakan yang berpihak pada publik dan membangun optimisme rakyat melalui pidato yang hebat.

Ya, kemampuan orasi Lewerissa nampak berbeda dengan kepemimpinan daerah ini sebelumnya, dan ia tahu mengoptimalkan kemampuannya itu untuk mengakselerasi percepatan pembangunan daerah dengan pondasi kepercayaan (trust). Mungkin inilah yang dimaksud sebagai politik akar dan bukan “politik gincu”.

Tentu saja, seratus hari selalu tidak cukup untuk mengukur kinerja pemerintahan Lewerissa-Vanath, tetapi arah dan sinyal kebangkitan Maluku sepertinya mulai terlihat. Bukankah demikian?.

Ditulis Oleh Tammat R. Talaohu (Wakil Ketua Umum Koordinator Perekonomian Kadin Maluku).

Editor (Redaksi).

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad