Place Your Ad
Place Your Ad
Opini

Pinjaman, Mengapa Tidak ?

×

Pinjaman, Mengapa Tidak ?

Sebarkan artikel ini
Foto : Tammat R. Talaohu Wakil Ketua Umum Koordinator Perekonomian Kadin Maluku

Oleh: Tammat R. Talaohu (Wakil Ketua Umum Koordinator Perekonomian Kadin Maluku)

Kebijakan pinjaman dalam membiayai pembangunan daerah merupakan hal yang lazim dalam kebijakan ekonomi modern, khususnya dalam konteks otonomi daerah dan situasi dimana daerah menghadapi keterbatasan ruang fiskal. Pemerintah daerah kerap menghadapi tekanan endanaan dari sumber internal maupun transfer pemerintah pusat, sehingga pinjaman menjadi salah satu alternatif untuk mempercepat pelaksanaan program pembangunan dan pelayanan
publik.

Pinjaman harus dimaknai sebagai bagian integral dari strategi pembiayaan pembangunan, itu bukanlah sesuatu yang tidak dibolehkan. Dalam konteks ini, rencana Pemerintah Daerah Provinsi Maluku yang akan menempuh kebijakan pinjaman sebesar Rp. 1,5 triliun dari PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) adalah strategi pembiayaan daerah yang harus ditempuh di tengah keterbatasan pendapatan daerah dan minimnya dana transfer dari APBN.

Ini adalah alternatif pembiayaan untuk menambah pendapatan daerah sekaligus menyeimbangkan neraca keuangan daerah. Berikut adalah beberapa pertimbangan yang mendasari mengapa strategi pinjaman merupakan instrumen yang tepat.

Pertama, strategi pinjaman bagi daerah kepulauan seperti Maluku justru bisa menjadi instrumen penting untuk mempercepat pembangunan yang selama ini tertinggal akibat tantangan geografis dan keterbatasan sumber daya. Infrastruktur dasar seperti pelabuhan, jalan, dan energi sangat vital untuk menghubungkan pulau-pulau di Maluku.

Pemerintah daerah dengan anggaran terbatas sulit membiayai proyek-proyek besar tersebut secara mandiri. Di sinilah pinjaman, baik dari pemerintah pusat, lembaga internasional, maupun swasta, berperan sebagai solusi pendanaan yang memungkinkan percepatan pembangunan infrastruktur yang mendasar.

Kedua, pinjaman yang dialokasikan dengan tepat dapat memicu efek berganda ekonomi. Infrastruktur yang lebih baik membuka akses pasar, memperlancar distribusi barang, serta meningkatkan investasi dan pariwisata. Ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, memperkuat basis pajak, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Sehingga, meski awalnya menambah beban fiskal, pinjaman bisa menghasilkan pendapatan jangka panjang yang lebih besar.

Ketiga, meskipun pengetatan fiskal penting untuk menjaga kestabilan ekonomi makro,fleksibilitas dalam pengelolaan pinjaman yang produktif harus dimiliki, terutama untuk daerah yang membutuhkan lompatan pembangunan. Asalkan dikawal dengan manajemen yang transparan, penggunaan pinjaman untuk proyek strategis dapat menjadikan Maluku lebih mandiri dan berkembang.

Dengan begitu, pinjaman bukan sekadar kewajiban yang membebani, melainkan peluang akselerasi pembangunan yang harus dimanfaatkan secara cerdas agar Maluku bisa mengejar ketertinggalan dan membuka potensi ekonominya secara optimal di era pengetatan fiskal ini.

Keempat, kekhawatiran tentang resiko gagal bayar. Meskipun kekhawatiran ini tetap menjadi salah satu kalkulasi dasar dalam manajemen resiko pinjaman, tetapi strategi dan mekanisme pinjaman yang akan ditempuh pemerintah daerah telah melalui skema pembahasan yang ketat dan rigit sehingga menjamin akuntabilitas kebijakan tersebut.

Dalam hal ini pembahasan terkait kebijakan pinjaman di DPRD Provinsi Maluku secara berjenjang telah ikut menjawab kekhawatiran tentang berbagai resiko pinjaman termasuk resiko gagal bayar. Karenanya seluruh fraksi di DPRD Provinsi Maluku tidak ragu untuk mendukung kebijakan pinjaman ini.

Selain itu, mekanisme pembayaran utang daerah seperti Provinsi Maluku kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) mengikuti regulasi nasional melalui APBD, dengan persetujuan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan PPN/Bappenas sebelum penarikan, serta pencatatan wajib dalam neraca keuangan daerah. PT. SMI pasti tidak akan menyetujui usulan pinjaman dari pemerintah daerah Provinsi Maluku jika ada penilaian
yang meragukan kemampuan daerah dalam mengelola serta mengembalikan pinjaman tersebut.

Kelima, perlunya menjaga momentum pertumbuhan. Hingga triwulan ketiga 2025, makro ekonomi Maluku terus menunjukkan trend yang positif. Hal ini ditandai oleh pertumbuhan ekonomi daerah yang tetap berkembang. Pada triwulan III (twIII) pertumbuhan ekonomi Maluku (yoy) mencapai 4,31 persen, tumbuh dari 3,39 persen pada triwulan II. Secara kumulatif triwulan I-III 2025 dibandingkan dengan kumulatif triwulan I-III 2024 tumbuh sebesar 4,25 persen.

Skema dan momentum pertumbuhan ini terjadi justru di tengah-tengah kebijakan pengetatan anggaran sejak Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang kebijakan efisiensi anggaran diadopsi. Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dalam perencanaan pembangunan daerah adalah penting untuk menciptakan efek berganda yang berkelanjutan, memperkuat daya saing, dan mengurangi kesenjangan antarwilayah melalui optimalisasi potensi lokal seperti infrastruktur
serta investasi.

Momentum pertumbuhan memicu peningkatan produktivitas melalui sinergi sektor agrikultur, pariwisata, dan ekonomi kreatif, yang menghasilkan lapangan kerja baru serta kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tanpa menjaga momentum ini, daerah berisiko mengalami stagnasi akibat tantangan seperti infrastruktur lemah dan daya saing ekonomi, sehingga menghambat pencapaian target pertumbuhan daerah dan nasional.

Selain itu, pertumbuhan yang konsisten mendukung kebijakan fiskal efektif seperti pengelolaan DAU/DAK, meningkatkan kualitas SDM, dan iklim investasi yang aman untuk menarik modal swasta.

Hal ini memastikan pembangunan spasial merata, dengan pengawasan APBD yang ketat untuk menghindari korupsi dan mempertahankan momentum. Jika pemerintah daerah tidak menempuh kebijakan pinjaman, Maluku beresiko menghadapi stagnasi karena pendapatan daerah berkurang dari biasanya Rp. 2,1 triliun (dana transfer), saat ini hanya mendapat Rp. 1,7 triliun, sehingga pada 2026 pendapatan daerah diproyeksikan hanya sebesar Rp. 2,4 triliun.

Pendapatan daerah sebesar ini tidak akan cukup membiayai kebutuhan dasar pembangunan daerah. Strategi pinjaman Rp. 1,5 triliun akan menjadi semacam bantalan untuk mengganjal perekonomian daerah sehingga menjaminnya tetap bergerak sekaligus memelihara momentum pertumbuhan yang telah terwujud sejak 2025.

Momentum pertumbuhan menjadi vital untuk dijaga dan dirawat, jangan sampai momentum tersebut terhentikan hanya oleh perdebatan yang tidak perlu. Jadi, demi menjaga stabilitas daerah dan momentum pertumbuhan, jika harus melakukan pinjaman, mengapa tidak?

Keenam, agenda provinsi kepulauan. Ketimbang berdebat tentang kebijakan pinjaman yang berpotensi melemahkan soliditas daerah serta mengalihkan fokus, ada baiknya segenap stake holder daerah bersatu mengadapi tahapan pembahasan RUU Daerah Kepulauan.

Saat ini,Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025 sebagai salah satu dari tujuh usulan DPD RI yang diterima DPR RI untuk dibahas bersama pemerintah.

Ini adalah momentum untuk memperbaiki posisi tawar dan perlakuan terhadap Maluku yang selama ini dianggap tidak proporsional. Jika RUU Daerah Kepulauan ini berhasil didorong menjadi undang-undang, makaperdebatan dan keluhan tentang pendapatan daerah yang minim akan teratasi secara bertahap.
Itulah pendapat saya, apakah anda setuju? (Redaksi)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad