Oleh: Tammat R. Talaohu ( Penulis Buku “Garis Perjuangan Partai Golkar” )
Ambon, Kapatanews.com – Bulan Oktober selalu istimewa bagi Partai Golkar karena di bulan ini, partai yang pernah menguasai panggung perpolitikan nasional selama lebih dari 30 tahun lahir sebagai antitesa terhadap idiologi dan Partai Komunis Indonesia yang saat itu begitu digdaya.
Artikel pendek ini, yang sebagian dari materinya telah dipublikasikan, dimaksudkan sebagai renungan sekaligus sebagai kado ulang tahun Partai Golkar ke-61, yang jatuh pada 20 Oktober.
Sebagai partai yang paling tua, peran serta signifikansi kebijakan dan pikiran partai harus tetap relevan dan solutif di tengah-tengah kehidupan sosio-ekonomi kebangsaan yang kian dinamis dan penuh tantangan.
Pemilu 2024 diakhiri dengan angin optimisme yang menghampiri Partai Golkar, setelah sebelumnya mengalami pertumbuhan negatif selama beberapa kali pemilu pasca reformasi.
Yakni sebuah situasi dimana perolehan suara pemilu yang terus menurun meski masih menempatkannya sebagai salah satu dari tiga besar partai papan atas di Indonesia.
Disebut angin optimisme karena dari 18 partai peserta pemilu 2024, Partai Golkar mampu meraih suara sebanyak 23,2 juta suara atau 15,29 persen suara sah.
Jika dikonversi ke kursi maka Partai Golkar meraih 2.982 kursi di DPR RI hingga DPRD. Pencapaian ini menempatkan Partai Golkar di posisi kedua di bawah PDIP dari segi jumlah suara nasional, namun berhasil menjadi pemenang di 14 provinsi, lebih banyak dibanding PDIP yang menang di 12 provinsi.
Capaian yang cukup bagi Partai Golkar, untuk mengklaim bahwa Golkar memperoleh hasil memuaskan pada Pemilu 2024. Bagi para teknokrat partai, perolehan yang dianggap sebagai surprise ini menjadi modal bagus guna menghadapi pemilu dan pilpres 2029.
Tetapi, ada satu situasi menarik yang menentukan dimana Golkar pada akhirnya memetik hasil melegahkan pada pemilu 2024 lalu, yaitu apa yang disebut Hamdi Muluk, pengamat politik Universitas Indonesia (2020), bahwa penerapan scientific politic menjadi kunci kemenangan
Partai Golkar dalam pemilu.
Dapat dielaborasi lebih lanjut bahwa scientific politic dimaksud merupakan upaya memenangkan hati, pikiran dan perasaan masyarakat dengan menggunakan
konsultan politik dalam menghitung peluang dengan melakukan survei terhadap isu-isu yang tengah berkembang di masyarakat.
Ini menyangkut survei popularitas, kesukaan dan tingkat keterpilihan kemudian diatur strategi pemenangannya. Pembahasan tentang scientific politic ini sebenarnya menyatu dengan karakter Partai Golkar itu sendiri.
Sebab salah satu ciri Partai Golkar adalah ‘the party of idea’, yaitu partai yang mengarusutamakan kekuatan pemikiran dan ide. Narasi yang kembangkan oleh Daniel Sparringa, ketika memberikan kata pengantar dalam buku “The Golkar Way” (2007), yang ditulis Akbar Tanjung, linier dengan topik ini, bahwa dukungan publik terhadap partai politik hanya mungkin dipertahankan melalui sebuah proses dan program aksi yang hasil, implikasi, resiko dan akibat gandanya dapat dikendalikan.
Dengan kata lain, mobilisasi dukungan terhadap partai adalah sebuah pengorganisasian aktivitas yang didalamnya melibatkan ilmu, seni, dan
sekaligus ketrampilan.
Bahkan di era Orde Baru dimana Golkar begitu digdaya. Tata kelola Golkar sebagai partai modern dan scientific telah diterapkan. Sebagai perbandingan, di Provinsi Riau ketika pemilu 1982.
Dalam buku Iklan Politik TV; Modernisasi Kampanye Politik Pasca-Orde Baru (2009), dijelaskan bahwa memang mayoritas kemenangan Golkar pada era Orde Baru tidak lepas dari campur tangan politik penguasa.
Namun pada sisi yang lain, terdapat juga pengaruh strategi politik yang diterapkan di lapangan. Pada pemilu 1977, suara Golkar di Riau mengalami
penurunan dibanding pemilu sebelumnya.
Untuk mendongkrak kembali perolehan suara Golkar di Riau pada pemilu 1982, Golkar mengangkat Emil Salim untuk menjalankan tugas tersebut.
Emil mengambil langkah yang boleh dibilang cukup inovatif untuk zaman itu. Ia merekrut pakar komunikasi Alwi Dahlan dan Wicaksono Noeradi untuk mengatur strategi pemenangan pemilu di Riau.
Alwi dan Wicaksono inilah yang melakukan riset lapangan untuk menggambar blue print peta politik Riau, sehingga bisa diterjemahkan dalam strategi marketing politik.
Segmentasi pasar, karakteristik pemilih dan positioning politik Golkar dibaca secara cermat sebagai bekal bagi Emil ketika nanti akan turun ke Riau.
Ketika itu, tim riset merekomendasikan ke Emil untuk masuk ke berbagai “daerah lawan”, menjawab isu, merespon langsung aspirasi masyarakat setempat dan merangkul elit lokal.
Bahkan, Emil harus mengingat nama-nama tokoh lokal dan turun berhujan-hujan bersama massa saat kampanye. Semua ini dalam rangka menyentuh empati politik rakyat.
Hasilnya, perolehan suara Golkar di Riau pada pemilu 1982 cukup tinggi dan menjadi pemenang. Marketing politik seperti inilah akhirnya diadaptasi oleh kader Golkar di daerah lain pada pemilu-pemilu selanjutnya.
Diantaranya, pada pemilu 1987 di Sulawesi Tengah dan pemilu 1992 di Sulawesi Utara. Fakta di atas menunjukkan bahwa sebenarnya Golkar memiliki spirit inovasi yang sangat besar. Jauh sebelum hingar bingar marketing politik pada era digital ini, Golkar telah menerapkannya lebih dari 30 tahun lalu.
Kembali ke hasil pemilu 2024, sekaligus menjadi bahan renungan, terutama bagi para kader beringin di Maluku. Mengapa hasil pemilu 2024 di Maluku tidak seprogresif daerah lain? Bahkan menurun.
Sekali lagi ini hanyalah renungan. Apakah spirit dan paradigma scientific politic yang diadopsi DPP Partai Golkar dan menjadi kunci kemenangan Golkar dalam pemilu 2024 sudah diterapkan DPD Golkar Maluku? Beberapa permasalahan berikut yang melingkupi partai ini, setidaknya di tingkat daerah, mungkin dapat membantu kita dalam memahaminya (Idrus Marham, Magnet Politik Golkar, 2016).
Pertama, melemahnya tradisi konseptual dalam berpartai. Golkar pada praktiknya dewasa ini justru semakin jauh dari the party of idea. Tradisi ini terkait dengan konteks akademis dimana ide dan gagasan selalu dikedepankan dan diposisikan sebagai instrumen politik, bukan intrik, politiking dan berbagai intrumen subjektivitas politik lainnya.
Kedua, melemahnya kelembagaan partai. Dalam berbagai literatur keilmuan politik, masalah kelembagaan politik dikaitkan dengan berbagai aspek, dari aspek nilai-nilai, sistem, kemandirian, demokrasi internal, kekuatan infrastruktur dan efektifitas pemanfaatan jaringan, hingga kepemimpinan organisasi. Dalam hal ini, sistem organisasi Partai Golkar rapuh dan tidak siap untuk menjalankan dan mengamankan kebijakan partai.
Ketiga, efektifitas kinerja partai. Dengan kata lain, publik akan menilai kinerja partai dari produktivitasnya dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi partai yang berpuncak pada peran partai dalam proses pengambilan kebijakan publik yang selaras dengan aspirasi publik.
Keempat, rusaknya kultur berpartai. Partai politik sebagai sebuah organisasi terbangun oleh adanya suatu kultur yang mendukungnya. Kultur berpartai dalam internal Partai Golkar, tidak lepas dari konteks warisan sejarah keorganisasian sebelumnya. Golkar berkultur harmonis, profesional, dan sinergis.
Keharmonisasian dan/atau kegotong-royongan akan mendorong kejayaan dan kebesaran partai. Pada kenyataannya, Golkar tidak dapat mengelak dari
konsekwensi-konsekwensi yang menyertai perkembangan demokrasi politik yang ekstra kompetitif dewasa ini.
Partai menjadi rentan konflik, manakala pengelolaan kepentingan elite internal partai tidak berjalan dengan baik. Itulah beberapa permasalahan, yang pembenahan atasnya akan menentukan apakah spirit dan paradigma scientific politic dapat diadopsi Golkar sekaligus menjadi kunci mengembalikan kejayaan Partai Golkar di Maluku.
Dirgahayu PartaiGolkar ke-61. Suara Rakyat Suara Golkar! (KN-01)








