Ambon, Kapatanews.com – Yantje Loupatty Kepala Sekolah SMA Negeri 42 Malteng ,kembali disoroti dan mendapatkan kecaman keras dari Akademisi Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Dr.Samuel Patra Ritiauw. S.Pd, M.Pd, pasalnya Yantje Loupatty selaku Kepala Sekolah diduga telah menyalahgunaan wewenang serta melakukan praktik nepotisme yang terjadi dalam pengelolaan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di sekolah tersebut.
Kepada Kapatanews.com, Rabu (8/10) Ritiauw yang juga menjabat sebagai Ketua DPD GAMKI Maluku menilai, fenomena ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk nyata dari lemahnya tata kelola pendidikan di tingkat satuan sekolah. Ia menegaskan bahwa pendidikan di Provinsi Maluku harus segera dikembalikan pada koridor aturan dan etika publik yang benar.
“Sudah waktunya pendidikan di Provinsi Maluku didudukkan pada aturan yang benar. Jangan lagi ada pembiaran terhadap praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme di dunia pendidikan,”
Pernyataan ini muncul sebagai respons atas pemberitahuan media yang mengungkap dugaan pengangkatan guru PNS dari SMP Negeri 16 Maluku Tengah sebagai tenaga honorer di SMA Negeri 42 Malteng tanpa dasar hukum yang sah, sekaligus menjabat sebagai Wakasek Humas dan pengelola Dana PIP sejak 2016.
Kebijakan Kepala Sekolah Yantje Loupatty tersebut dinilai menyalahi prosedur administrasi, karena pengangkatan lintas jenjang pendidikan negeri tidak dapat dilakukan tanpa surat keputusan resmi dari Dinas Pendidikan Provinsi Maluku.
Akademisi FKIP Unpatti ini menegaskan bahwa praktik semacam itu bukan hanya melanggar prinsip birokrasi pendidikan, tetapi juga membuka ruang bagi penyimpangan keuangan negara.
“Jika terbukti praktik-praktik tersebut dilakukan oleh kepala sekolah, maka harus diproses sesuai aturan hukum. Kami mendesak aparat penegak hukum agar tidak menunda-nunda langkah penyelidikan,” kata Samuel Patra Ritiauw menambahkan.
Ritiauw juga mengingatkan bahwa praktik kolusi dan nepotisme yang dibiarkan dalam dunia pendidikan akan merusak integritas lembaga pendidikan dan menciptakan budaya permisif di kalangan ASN. Menurutnya, sistem pengawasan internal dan peran aktif Dinas Pendidikan harus diperkuat agar setiap kepala sekolah benar-benar diawasi dalam menjalankan tugasnya.
“Sudah saatnya Dinas Pendidikan bertindak tegas dan tidak pandang bulu. Jika kepala sekolah melanggar aturan, maka harus dicopot dari jabatannya dan diproses hukum agar ada efek jera bagi semua pimpinan sekolah,” tegasnya.
Lebih jauh, Ritiauw menyebut bahwa fenomena seperti yang terjadi di SMA Negeri 42 Malteng hanyalah puncak dari gunung es permasalahan pendidikan di Maluku. Dirinya menilai banyak kepala sekolah di wilayah ini menjalankan pola kepemimpinan yang tertutup dan tidak akuntabel dalam pengelolaan dana publik, termasuk Dana BOS dan PIP.
“Kami prihatin melihat praktik-praktik buruk yang dipertontonkan oleh kepala-kepala SMA dan SMK di Provinsi Maluku. Mereka inilah yang berpotensi merusak citra pendidikan. Karena itu, ini waktunya dibersihkan secara menyeluruh,” tutupnya.
Desakan akademisi Unpatti ini mendapat perhatian publik karena mencerminkan keresahan masyarakat terhadap maraknya dugaan penyimpangan dalam tata kelola pendidikan di daerah. Pemerhati pendidikan dan aktivis masyarakat sipil kini menunggu langkah konkret dari Dinas Pendidikan Provinsi Maluku dan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti temuan tersebut.
Jika rekomendasi akademisi dan masyarakat sipil ini diabaikan, bukan tidak mungkin citra dunia pendidikan Maluku akan semakin terpuruk, dan kepercayaan publik terhadap sekolah negeri semakin menurun,tegasnya (*)