Place Your Ad
Place Your Ad
Iklan
Pendidikan

Kebijakan Tidak Naik Kelas SMP Fordata Dikecam, Dinilai Rugikan Pendidikan

×

Kebijakan Tidak Naik Kelas SMP Fordata Dikecam, Dinilai Rugikan Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Saumlaki, Kapatanews.com – Kebijakan Plt. Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Fordata, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, yang memutuskan tidak menaikkan delapan siswa dengan alasan absensi, menuai kritik tajam dari pemerhati pendidikan. Keputusan tersebut dinilai berpotensi menambah angka putus sekolah di wilayah kepulauan yang masih menghadapi keterbatasan akses pendidikan.

Sejumlah pihak menegaskan, absensi tidak dapat dijadikan satu-satunya faktor penentu kenaikan kelas. Regulasi pendidikan nasional, termasuk Permendikbud No. 53 Tahun 2015 dan Permendikbud No. 23 Tahun 2016, mengamanatkan bahwa proses kenaikan kelas harus mempertimbangkan banyak aspek demi masa depan generasi penerus bangsa.

Scroll Keatas
Example 300x450
Scroll Kebawah

Selain itu, dugaan praktik pungutan liar (pungli) juga mencuat di SMP Negeri 2 Fordata. Informasi yang beredar menyebutkan adanya pungutan uang dan kewajiban penyediaan kursi bagi siswa pindahan maupun siswa yang terlambat masuk sekolah. Dalih bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan komite sekolah dinilai tidak sesuai prosedur serta berpotensi melanggar aturan pendidikan.

Mengacu pada Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, ditegaskan bahwa komite tidak diperkenankan melakukan pungutan dalam bentuk apa pun kepada peserta didik maupun orang tua/wali murid. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjamin hak setiap warga negara memperoleh pendidikan layak tanpa diskriminasi maupun pungutan liar.

Pemerhati pendidikan menilai kebijakan tersebut kontraproduktif dengan upaya pemerintah menekan angka putus sekolah di daerah tertinggal. Keputusan tidak menaikkan siswa dianggap dapat memicu penurunan motivasi belajar, menambah beban biaya orang tua, serta meningkatkan risiko siswa berhenti sekolah, khususnya bagi keluarga kurang mampu.

Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, sekolah diharapkan menempuh berbagai alternatif sebelum menjatuhkan kebijakan tidak naik kelas. Upaya tersebut antara lain memberikan pendampingan tambahan, menyediakan layanan konseling, serta menerapkan pembelajaran terdiferensiasi sesuai kebutuhan siswa. Pendekatan ini diharapkan membantu siswa mengejar ketertinggalan tanpa menanggung dampak psikologis maupun sosial.

Petrus Liwurngorwaan, pemuda asal Desa Sofyanin yang juga anggota Ormas Pemuda Pancasila Kabupaten Bogor, menegaskan bahwa setiap keputusan terkait kenaikan kelas harus senantiasa mengedepankan kepentingan terbaik bagi peserta didik.

“Sekolah wajib memaksimalkan pembinaan, pendampingan, dan layanan konseling. Keputusan tidak naik kelas seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan jalan pintas yang justru merugikan masa depan anak,” ujarnya saat dimintai tanggapan di Saumlaki.

Lebih lanjut, Petrus menekankan bahwa dalam kerangka Kurikulum Merdeka, sistem tinggal kelas otomatis tidak lagi berlaku. Keputusan kenaikan kelas, menurutnya, sepenuhnya ditentukan berdasarkan capaian kompetensi siswa, hasil pembelajaran remedial, serta perkembangan karakter. Skema ini dirancang agar pendidikan lebih berorientasi pada kebutuhan peserta didik, meski juga menghadirkan tantangan tersendiri dalam implementasinya di sekolah-sekolah.

Ia juga menyoroti fakta bahwa SMP Negeri 2 Fordata menampung siswa dari Desa Walerang dan Desa Sofyanin. Jika delapan siswa yang tidak naik kelas seluruhnya berasal dari Desa Sofyanin, Petrus menilai keputusan tersebut berpotensi menimbulkan indikasi perlakuan diskriminatif.

“Hal ini perlu diwaspadai agar dunia pendidikan tidak tercoreng oleh praktik yang berbau rasisme. Sekolah harus berdiri di atas prinsip keadilan dan inklusivitas, bukan sebaliknya,” tegasnya.

Polemik ini juga memunculkan tuntutan evaluasi terhadap kepemimpinan Plt. Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Fordata yang dinilai belum mampu menyelesaikan persoalan mendasar pendidikan. Petrus berharap Bupati Kepulauan Tanimbar hingga pemerintah pusat turun tangan agar solusi lebih bijak dapat ditempuh.

Kasus ini diharapkan menjadi alarm nasional bahwa kebijakan pendidikan di daerah kepulauan membutuhkan keberpihakan nyata. Pemerintah pusat, termasuk Presiden Republik Indonesia, didorong memberi perhatian serius agar kebijakan sekolah tidak memperburuk kualitas sumber daya manusia di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). (KN-07)

Ikuti Kami untuk Informasi menarik lainnya dari KAPATANEWS.COM Di CHANNEL TELEGRAM Dan CHANNEL WHATSAPP
Place Your Ad