Saumlaki, Kapatanews.com – Amarah rakyat menggema keras di depan Kantor DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Teriakan dan derap langkah peserta aksi yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Pemuda Katolik membelah udara sore yang mendung.
Mereka datang bukan dengan tangan kosong, tetapi membawa tuntutan keras: panggil Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dianggap semena-mena terhadap rakyat kecil.
Kemarahan publik meledak setelah kebijakan Pemerintah Daerah Kepulauan Tanimbar memerintahkan warga yang tinggal di Perumahan Bomaki yang selama ini dikenal sebagai Perumahan Khusus (Perumkus) untuk segera mengosongkan rumah-rumah mereka. Alasannya? Perumahan tersebut akan dialihfungsikan untuk pegawai Dinas Kesehatan.
Namun, warga menolak mentah-mentah. Mereka mengaku telah tinggal di sana selama bertahun-tahun berdasarkan Surat Keputusan (SK) Penempatan dan hibah resmi yang ditandatangani oleh mantan Bupati Petrus Fatlolon. Kebijakan pengosongan sepihak itu bukan hanya melukai rasa keadilan, tapi juga mengoyak martabat mereka.
“Apakah Kami Binatang?”
Salah satu peserta aksi, Godelifa Angwarmase, tak kuasa menahan emosinya saat diwawancarai di tengah lautan massa. Suaranya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena diliputi rasa marah dan pilu yang tak tertahankan.
“Apakah kami ini binatang, lalu kemudian mau seenaknya diusir keluar dari perumahan Bomaki yang selama ini kita tempati?” tegas Godelifa, matanya berkaca-kaca namun tajam menatap Kantor DPRD yang kini dikepung rakyat.
Godelifa menjelaskan bahwa warga menempati rumah itu bukan dengan cara ilegal. Mereka punya dokumen resmi. Mereka bukan pendatang liar, mereka adalah warga negara yang berhak atas perlindungan dan kepastian hukum.
Menurut informasi yang dihimpun, Pemda berencana menyerahkan seluruh unit rumah di Bomaki kepada Dinas Kesehatan untuk mendukung program strategis sektor kesehatan. Namun ironisnya, tidak ada sosialisasi yang layak, tidak ada mediasi, apalagi solusi relokasi yang manusiawi.
Yang ada hanyalah surat pengosongan dan intimidasi, seperti seolah-olah pemerintah daerah tidak sedang berurusan dengan manusia, tetapi dengan benda mati yang bisa dipindahkan sesuka hati.
Aksi Massa Mengepung Kantor Wakil Rakyat
Massa aksi memaksa masuk ke halaman DPRD. Mereka menuntut Ketua DPRD dan seluruh anggota segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terbuka, memanggil Bupati Ricky Jauwerissa, Wakil Bupati dr. Chaterina Ch. Ratuanak, dan Sekretaris Daerah Brampi Moriolkossy, untuk menjelaskan secara terbuka di hadapan rakyat dan media.
“Kami tidak akan pulang sebelum ada jaminan bahwa warga tidak digusur seenaknya,” teriak Angwarmase
Sementara itu, beberapa anggota DPRD terlihat tergesa keluar ruangan dan mulai berdiskusi di tengah kerumunan massa. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak DPRD, maupun jadwal pemanggilan Bupati dan jajaran terkait.
PMKRI dan Pemuda Katolik menegaskan bahwa jika dalam waktu dekat tidak ada tindak lanjut, maka gelombang aksi “Pengadilan Rakyat” akan semakin besar. Bahkan mereka mengancam akan menutup akses ke Kantor Bupati dan kantor-kantor dinas lainnya sebagai bentuk perlawanan sipil.
Hingga kini, warga di Perumahan Bomaki masih hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Sebagian dari mereka bahkan mengaku tidak bisa tidur nyenyak karena takut digusur tiba-tiba, tanpa ada tempat yang bisa mereka tuju.
Godelifa Angwarmase menyampaikan harapannya kepada para wakil rakyat agar berdiri di sisi rakyat yang tertindas.
“Kami tidak minta istana, hanya tempat tinggal yang layak, yang sudah kami rawat bertahun-tahun. Kalau pemerintah tega menggusur kami, lalu siapa yang akan membela kami?” katanya sambil menyeka air mata.
Aksi ini membuka tabir betapa buruknya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya. Kebijakan tanpa dialog, tanpa hati nurani, adalah bentuk kekuasaan yang mengarah pada otoritarianisme lokal. Bupati dan jajarannya kini ditantang untuk menjelaskan: siapa yang memberi perintah, siapa yang menyusun rencana, dan siapa yang akan menanggung penderitaan rakyat?
Warga tidak menolak pembangunan. Mereka hanya ingin dihargai sebagai manusia, bukan sebagai objek kebijakan yang bisa dipindah-pindah sesuai selera kekuasaan.
Redaksi mencatat: Aksi akan terus berlanjut dan kemungkinan meningkat, jika Pemda Kepulauan Tanimbar terus bungkam. Kini semua mata tertuju pada DPRD: akankah mereka menjadi penyambung lidah rakyat, atau justru ikut membungkam jeritan warga Bomaki? (KN-07)