Ambon,Kapatanews.com._ Menjelang pelaksanaan Turnamen Indonesia Open 2025, dunia bulu tangkis Indonesia dikejutkan dengan berita duka.
Legenda badminton Tan Joe Hok telah meninggal dunia pada Senin, 2 Juni 2025, di Jakarta.
Berita tentang kepergiannya disampaikan melalui akun resmi Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) pada siang hari tersebut. Tan Joe Hok menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 10.52 WIB di Rumah Sakit Medistra. Meskipun demikian, penyebab kematian beliau tidak diungkapkan, dan Tan Joe Hok meninggal di usia 87 tahun.
“PBSI menyampaikan dukacita yang mendalam dan doa terbaik untuk almarhum dan keluarga. Selamat jalan Tan Joe Hok. Warisanmu untuk bulutangkis kan abadi,” demikian kutipan resmi dari PBSI.
Tan Joe Hok, yang juga dikenal dengan nama Hendra Kartanegara, lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 11 Agustus 1937. Ia bukan hanya seorang atlet berprestasi, tetapi juga sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan bulu tangkis di Indonesia.
Dirinya dikenal sebagai pemain bulu tangkis Indonesia di era tahun 1950-an hingga 1960-an. Ia adalah putra Indonesia pertama yang menjuarai All England tahun 1959 setelah mengalahkan kompatriotnya, Ferry Sonnevile di final.
Tan Joe Hok juga meraih medali emas Asian Games tahun 1962. Selain itu, Ia bersama enam pebulu tangkis Indonesia lainnya merebut Piala Thomas untuk pertama kalinya tahun 1958.
Pada masanya, Tan Joe Hok mempunyai nama besar sebagai atlet kebanggaan Indonesia karena prestasinya mengharumkan nama bangsa.
Tan Joe Hok bersama dengan Ferry Sonneville, Lie Poo Djian, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Eddy Jusuf, dan Olich Solihin merupakan perintis Tim Thomas Indonesia yang dikenal sebagai “tujuh pendekar” bulu tangkis tanah air. Mereka berhasil menjuarai Piala Thomas 1958 setelah menaklukkan juara bertahan Malaysia (Saat itu bernama Malaya) dalam babak penantangan (chalenge round) dengan skor 6-3 di Singapore Badminton Hall, Singapura (Kala itu termasuk bagian negara Malaya).
Dalam perebutan Piala Thomas tersebut, Tan Joe Hok bermain sebagai pemain tunggal sekaligus pemain ganda (berpasangan dengan Lie Poo Djian).
Setelah pensiun dari pemain bulu tangkis, Tan Joe Hok sempat menjadi pelatih bulu tangkis di Meksiko dan Hongkong. Ia bergabung menjadi pelatih PB Djarum tahun 1982 dan merangkap sebagai project manager cabang PB Djarum di Jakarta.
Ia kemudian diangkat menjadi pelatih pelatnas Piala Thomas 1984 dan berkat bimbingannya Tim Bulu Tangkis Indonesia berhasil menjuarai Piala Thomas 1984 dengan munundukkan China. Atas prestasinya SIWO/ PWI Jaya menganugerahkan penghargaan sebagai Pelatih Olah Raga Terbaik 1984.
Orde Baru Memaksanya Rubah Nama
Meskipun sudah berjasa mengharumkan nama Indonesia pada berbagai gelaran bulutangkis Internasional, namun gaya otoriter orde baru tak mau tahu. Tan Pernah dipaksa merubah namanya.
Dari laman Facebook Penulis Wahyudi Djaja menuliskannya sebagai berikut.
“Aku lahir di Indonesia, apapun kuberikan kepada negeri ini”. Tak perlu bertanya soal nasionalisme atau dedikasinya pada Indonesia. 13 tahun setelah merdeka, dia sudah angkat Piala Thomas. Setahun kemudian dia raih gelar pertama All England. Bung Karno bangga menyambutnya di Istana Negara.
Namun, “Penggantian nama itu amat menyakitkan bagi saya”. Siapa bisa menduga di awal Orde Baru sosok yang lahir di Bandung 11 Agustus 1937 itu dipaksa mengganti nama Tan Joe Hok jadi Hendra atas rekomendasi Pangdam Siliwangi HR Darsono. Dia lalu menambahkan KerTANegara,
“Sekedar agar nama Tan tidak hilang”. Dia marah, lalu pergi ke Meksiko dan Hongkong jadi pelatih. Kembali ke Indonesia pada 1972, membantu para yuniornya, sukses meraih kembali Piala Thomas pada 1984 mengalahkan Cina.
Hari ini Tan Joe Hok pergi selamanya. Pionir dan ikon badminton itu meninggalkan prestasi, jasa dan nama besar. Dia membuktkan, diskriminasi tak menghalangi prestasi dan dedikasi. Tanpa teriak soal nasionalisme, sabetannya lebih nyaring bila dibandingkan orang yang tiap hari koar-koar “NKRI Harga Mati”. RIP, Tan.
—-
Peraih Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Nararya ini dikenal amat rendah hati. Dia menolak gelar pahlawan Piala Thomas Indonesia, dirinya lebih senang menyebut dirinya dan kawan-kawannya yang meraih piala Thomas 1958, 1961 dan 1964 sebagai pionir daripada pahlawan.
Selamat Jalan Sang Pionir.(Redaksi).